mahkota cinta page 2-1
Menjelang Maghrib bus Trans Nasional memasuki
kota Kuala Lumpur. Zul menikmati pemandangan senja
di Kuala Lumpur dengan seksama. Jalan tol yang lebar
dan melingkar. Gedung-gedung tinggi. Hutan kota yang
masih terjaga. la harus mengakui, Kuala Lumpur jauh
lebih rapi dari Jakarta. la mencari-cari gedung yang
menjadi simbol Kuala Lumpur. la melongok-longok,
mencari-cari Menara Kembar. la tidak melihatnya.
"Menara Kembarnya mana ya Mbak, kok tidak
kelihatan?" tanyanya pada Mari.
"Kamu jangan memandang ke arah situ. Pandanglah
ke arah sana. Di sela gedung menjulang itu. Itulah
Menara Kembar," jawab Mari sambil menunjuk ke arah
Menara Kembar.
"Wah iya. Saya penasaran ingin lihat dari dekat."
"Jangan tergesa-gesa. Nanti kau akan punya waktu
yang cukup untuk melihatnya. Kau bahkan bisa makan
di sana. Kau juga bisa refreshing di sana. Di bawah
menara itu ada tamannya yang rapi dan indah. Namanya
taman KLCC. Taman itu terbuka untuk umum dan
gratis."
Zul langsung membayangkan nyamannya berjalanjalan
di bawah Menara Kembar dan nyantai di taman
KLCC. Tiba-tiba ia teringat Najibah. Gadis satu desa
dengannya yang pernah menjadi tambatan hatinya.
Najibah pernah minta padanya untuk rekreasi ke Taman
Kiai Langgeng. Dan ia berjanji pada gadis itu akan
mengajaknya ke Taman Kiai Langgeng suatu kali.
Namun sampai saat ini ia tidak bisa memenuhi janji itu.
Dan tidak mungkin rasanya memenuhi janjinya itu.
Sebab, gadis yang punya lesung pipi indah itu, kini telah
menikah dengan orang lain. Ah, seandainya ia kaya,
tentulah ia bisa menikahi gadis itu dan mengajaknya
jalan-jalan ke Taman Kiai Langgeng. Bahkan mengajaknya
ke Kuala Lumpur dan berjalan-jalan di taman KLCC itu.
Karena kemiskinannyalah, akhirnya Najibah
memutuskan menikah dengan orang lain setelah tiga kali.
Itu pun setelah Najibah memintanya untuk segera
menikahinya dan ia merasa tidak mampu. Ia minta
ditangguhkan beberapa tahun lagi. Ia tidak bisa memberi
jawaban pasti. Dan Najibah merasa tidak bisa bergantung
pada ketidakpastian.
"Maaf, Mas Zul, bukan saya tidak cinta sama Mas.
Orang tua saya minta saya segera menikah. Tahun ini.
Jika Mas mau ya tahun ini. Jika tidak ya anggap saja
kita tidak berjodoh. Ini demi kebaikan saya dan Mas."
Itulah kata-kata Najibah yang masih ia ingat terus. Katakata
yang tidak mungkin ia lupakan, karena saat itu ia
tidak berdaya apa-apa sebagai seorang lelaki. Ia sama
sekali tidak bisa memenuhi harapan orang yang
dicintainya. Jangankan biaya untuk menikah, biaya
untuk makan sehari-hari saja ia sering tidak punya. Ia
benar-benar merasakan betapa susah jadi orang tidak
punya. Sampai untuk menikahi orang yang dicintai saja
tidak bisa. Ia benar-benar sedih dan menderita jika
mengingatnya.
Sesungguhnya Najibah itu bukanlah gadis yang
materialistis, ia tidak minta apa-apa, selain akad nikah.
Namun akad nikah itu ada biayanya. Dan itu yang ia
tidak punya saat itu. Ia benar-benar tidak punya. Ia
merasa dirinya adalah orang paling miskin papa sedunia.
Ah, ia berusaha melupakan peristiwa itu. Namun
belum juga bisa. Bahkan sampai ia sudah di Kuala
Lumpur pun peristiwa itu masih saja teringat olehnya. Ia
yang mengalami peristiwa yang tak setragis Mari saja
masih dibayangi oleh peristiwa itu, apalagi Mari. Wajar
jika perempuan muda itu sampai mengalami trauma.
"Heh, melamun apa! Kita sudah sampai di Purduraya!
Ayo siap-siap turun!"
Zul kaget dan tersadar dari lamunannya.
"Kita sudah sampai Mbak?"
"Iya. Ayo turun. Itu orang-orang sudah pada turun."