magkota cinta page 1-5
"Bukankah Mbak memiliki seorang ayah?"
"Ya tentu saja punya. Namun ayah saya sudah tidak
ada sejak saya berusia dua tahun. Jadi saya tidak ingat
apa-apa tentang ayah. Dan ibu tidak menikah lagi. Kakak
tertua saya lelaki. Tapi ia tidak begitu peduli pada saya."
Bus terus melaju. Sejauh mata memandang adalah
rerimbunan kebun kelapa sawit yang tampak hijau tua.
"Bagaimana ceritanya Mbak bisa sampai ke
Malaysia. Dan apa sebenarnya yang Mbak cari?"
"Kalau diceritakan semuanya panjang. Singkat saja
ya. Setelah suami dipenjara dan saya tahu siapa dia
sebenarnya, saya mengajukan gugatan cerai. Rumah di
Solo Baru disita polisi karena ternyata suami punya
piutang di beberapa bank yang cukup besar jumlahnya.
Saya tidak punya apa-apa. Ibu sudah renta. Saya anak
ragil. Saudara-saudara saya sudah berkeluarga. Mereka
juga hidup susah. Saya tidak berani meminta bantuan
mereka.
"Saya nekat merantau ke Jakarta untuk mencari
kerja. Kebetulan ada teman yang mengajak. Alhamdulillah
sebelum menikah saya sudah selasai D.3
Akuntansi. Dan dengan berbekal ijazah D.3, saya
diterima bekerja di sebuah supermarket di Jakarta Selatan.
Saya sudah cukup nyaman saat itu. Saya hidup damai
kurang lebih dua tahun. Saya bahkan sempat nyambung
kuliah, dan menyelesaikan S.l di sebuah Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi di Jakarta.
Tapi tiba-tiba entah bagaimana, mantan suami saya
itu bisa tahu nomor telpon saya dan menelpon saya. Dia
sudah keluar dari penjara dan meminta saya agar
kembali kepadanya. Saya takut. Saya langsung pergi
meninggalkan Jakarta hari itu juga. Saya bersembunyi
ke Bandung. Di Bandung ada agen pengiriman tenaga
kerja ke Malaysia. Saya ikut agen. Akhirnya saya
mengadu nasib dan terbang ke Malaysia. Sampai
sekarang saudara-saudara saya tidak saya beritahu kalau
saya di Malaysia. Terakhir saya nelpon mereka saat saya
masih di Bandung. Saya kuatir mantan suami saya itu
akan mengejar saya."
"Kenapa mesti takut Mbak. Bukankah Mbak adalah
perempuan yang merdeka. Dan Mbak akan dilindungi
oleh hukum?"
'Ah kamu ini Dik. Apa selama ini kamu hanya hidup
di dalam kamar dan tidur, sehingga membuka jendela
pun tidak!? Dunia mantan suami saya adalah dunia
mafia. Dan dunia mafia tidak mengenal hukum. Lebih
baik saya di Malaysia dulu, baru kalau saya sudah
mendengar si W itu telah mampus, saya akan balik ke
Indonesia. Walau bagaimanapun saya punya saudara
dan saya sangat rindu pada mereka. Saya pun ingin hidup
berkeluarga dan tenang di hari tua. Saya tidak akan
menyerah. Saya akan terus berusaha dan bertahan
sampai Tuhan memutuskan takdir finalnya untuk saya.
Semenderita dan sesengsaranya saya, saya masih percaya
bahwa Tuhan itu ada. Tuhan itu adil dan Dia juga Maha
Penyayang. Saya masih percaya itu Dik."
Zul hanya diam mendengarnya. Ternyata tidak hanya
dia yang menghadapi perjalanan hidup yang rumit
dan sulit. Perempuan muda yang duduk di sampingnya
bisa jadi sebenarnya menjalani hidup yang lebih rumit
yang tidak sampai untuk dikisahkan kepada siapa pun.
"Kalau adik, bagaimana? Bagaimana bisa sampai
harus ke negeri Jiran ini? Adakah cerita yang bisa dibagi
dan didengar?" Mari balik bertanya. la merasa selama
ini dia yang banyak bercerita. la ingin gantian mendengarkan
cerita dari Zul.
"Perjalanan saya bisa sampai di dalam bus ini tak
kalah berlikunya dari apa yang Mbak ceritakan. Hanya
saja saya merasa tidak harus sekarang saya menceritakannya.
Saya janji saya akan gantian membagi
cerita saya pada Mbak. Saya yakin kita masih bisa
bertemu di negeri Jiran ini. Itu pun kalau Mbak benarbenar
masih sudi menemui saya."
"Masak tidak sudi. Memang saya ini siapa?"
"Kuatir, Mbak masih menyisakan rasa jijik itu."
"Ah, kamu ini. Ya saya akan merasa jijik sama kamu
jika kelakuan kamu ternyata tidak berbeda dengan si
W, mantan suami saya itu."
"Mbak kok seolah yakin benar kalau kelakuan saya
berbeda dengan mantan suami Mbak. Kenapa Mbak
tidak waspada? Kenapa Mbak justru malah mengajak
saya jalan bersama?"