Recent Posts
0 komentar

mahkota cinta page 1-3


"Kita tunggu bus di sini. Kita akan menuju ke Stesyen
Larkin. Dari Larkin kita naik bus ke Purduraya KL." Jelas
Mari.
Sepuluh menit kemudian bus datang. Mari, Zul dan
puluhan penumpang berebutan naik. Bus itu mengantar
mereka ke Stesyen Larkin. Dari Larkin Mari mengajak
Zul ke loketbus Trans Nasional.
"Biar saya yang bayar Dik."
"Jangan begitu Mbak, saya jadi tidak enak."
"Anggap saja kita bersaudara. Jadi santai saja."
"Satu orangnya berapa Mbak?"
"Dua puluh empat ringgit. Kita pakai bus yang ada
toiletnya. Biar nyaman di perjalanan. Yuk kita segera
naik. Sepuluh menit lagi bus akan berangkat."
Mereka berdua naik bus Trans Nasional. Zul dan Mari
duduk di kursi yang berdekatan. Selain wajah Indonesia,
tampaklah wajah-wajah China, India dan Melayu
menjadi penumpang bus cepat itu. Sopirnya berwajah
Indonesia, dan tampaknya ia seorang Muslim, sebab
sebelum menjalankan bus ia membaca basmalah.
Bus berjalan keluar stesyen. Lalu melaju membelah
kota Johor Bahru dengan kecepatan sedang. Setengah
jam kemudian bus itu sudah meninggalkan Johor
Bahru, dan mulai melaju dengan kecepatan tinggi. Bus itu
membelah perkebunan kelapa sawit. Zul memandang
ke kanan dan ke kiri yang tampak hanyalah
rimbunan pohon kelapa sawit yang bagai berlarian ke
belakang.
"Dari logat adik bicara, sepertinya adik orang Jawa."
Mari membuka pembicaraan sambil menaikkan resleting
jaketnya sehingga benar-benar rapat sampai ke leher. Ia
tampaknya agak kedinginan.


"Iya Mbak benar. Saya asli Demak Mbak. Kalau
Mbak?"
"Saya juga Jawa Dik. Saya asli Sragen."
"Maaf, e... Mbak sudah berumah tangga?"
"Sudah."
"Sudah punya anak dong Mbak?"
"Belum. Bagaimana mau punya anak lha wong
rumah tangga saya hanya berumur dua minggu."
"Cuma dua minggu?"
"Iya bisa dikatakan demikian."
"Suami Mbak meninggal?"
"Tidak. Saya minta cerai. Sejak itu saya trauma dan
rasanya susah sekali untuk membina rumah tangga lagi."
"Maafkan saya Mbak, jadi mengingatkan pada halhal
yang tidak Mbak sukai."
"Ah tidak apa-apa. Walau bagaimanapun kejadian
itu telah menjadi bagian dalam sejarah hidup saya.
Memang menyakitkan jika diingat." Kata Mari sambil
mengambil nafas dalam-dalam. Seperti ada yang
menyesak dalam dadanya.
Zul diam saja. la merasa tidak saatnya ia bicara. la
kuatir jika salah bicara justru akan memperburuk suasana.
"Mungkin ada baiknya juga ya saya cerita. Ya untuk
sekadar melepas beban yang menyesak di dada. Dan
daripada selama perjalan diam saja/' Mari kembali
membuka percakapan. "Tidak apa-apa kan? Kau mau
mendengarkan kan Dik?" lanjutnya sambil memandangi
Zul. Zul jadi menoleh. Pandangan mereka bertemu.
Zul mengangguk pelan, lalu kembali memandang lurus
ke depan. Mari mulai bercerita,
"Saat itu saya masih kuliah di UNS Solo. Saya
berkenalan dengan orang yang kemudian jadi suami saya
itu, ya saat kuliah itu. Sebut saja namanya W. Saya tidak
mau mengingat nama lengkapnya. Saya sudah mengharamkan
diri saya untuk menyebut namanya. Saya
sangat membencinya hingga tujuh turunan.
"Baik saya lanjutkan ceritanya. Saat itu saya adalah
gadis yang masih lugu. Sekaligus gadis desa yang mudah

terpikat dengan gemerlap duniawi. Agaknya W mengerti
benar karakter diri saya. Sehingga dia bisa begitu mudah
masuk dalam kehidupan saya. Ia begitu lihai memikat
dan menawan hati saya. Jika ke kampus dia selalu
memakai mobil mengkilat. Orangtua W adalah saudagar
kaya di Klewer dan Tanah Abang Jakarta. Dia sering
datang ke kost saya. Dan sering menyenangkan hati saya
dengan limpahan hadiahnya.




Entri Populer


Shvoong
Situs ringkasan dunia

Advertisement

Copyright © 2011 Design by Adit'Faizah